Mengguncang Dunia!


Bahwa bangsa ini memiliki segudang aset SDA (natural resourches), seperti tambang batu bara, minyak bumi, gas alam, emas, timah, intan atau mineral berharga lainnya, tentu kita semua tahu. Demikian juga soal suburnya bumi Indonesia dan begitu kayanya kandungan laut yang kita miliki. Namun siapa yang menyangka, kalau sebenarnya bangsa ini memiliki aset yang jauh lebih berharga dari itu semua, yang sejatinya merupakan modal dasar terbesar kita. Dan modal dasar itu bernama : sumber daya manusia.

Memang tidak banyak orang yang melihat betapa potensialnya SDM kita – bahkan sebagian dari kita malah me-marginal-kannya. Berbagai fenomena politik, sosial dan moral yang terus terjadi di sekitar kita, seolah semakin mengukuhkan image yang ada. Mulai dari rendahnya tingkat kejujuran dan kedisiplinan masyarakat kita, kualitas pendidikan yang “dipertanyakan”, budaya para intelektualnya yang senang sekali berbicara & berdebat – tetapi “nol besar” ketika diminta realisasi & aksi nyatanya, sampai-sampai kemasalah attitude tenaga kerja kita yang masih jauh dari standar produktifitas yang diharapkan. Hingga berkembang sebuah anekdot: kalau ada suatu pekerjaan yang sama, diberikan kepada orang Jepang – selesai dalam dua jam, orang Eropa – mampu menyelesaikan dalam tiga jam dan orang Singapura – selesai dalam lima jam saja, orang Indonesia sampai sore pun belum tentu selesai juga. Sungguh tragis mendengarnya.

Padahal sebenarnya tidak sedikit putra-putri negeri ini telah pengukir berbagai prestasi kegemilangan di tingkat dunia – dalam ajang olimpiade ilmu pengetahuan internasional (fisika, matematika, dan kimia) misalnya -- talenta dan kecerdasan anak-anak Indonesia terbukti mampu mengalah anak-anak belahan dunia lainya. Untuk bidang kepakaran & sains level dunia, ada Prof. J.T Sri Sumantyo yang menjadi Associate Professor di Universitas Chiba bidang Environmental Remote Sensing; Bambang Hidayat yang professor dan anstronom kaliber internasional; Prof. Nelson Tansu (29) asal medan yang merupakan professor termuda di Amerika Serikat, ahli Electrical Engineering, pemiliki tiga hak paten di bidang: semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan High Power serta mendapat anugerah The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award, mengalahkan 300 tesis doktoral lainnya; dan Tri Mumpuni, wanita Indonesia peraih Climate Hero dari WWF international yang dijuluki pejuang lingkungan berkat inovasinya di bidang kelistrikan dan teknologi mikrohidro. Bahkan masih ada puluhan bahkan ratusan nama-nama lain. Seperti bidang pemikiran dan tulis-menulis, ada Firmanzah Ph.d Major Strategic and Management International yang penulis buku dan media massa eropa serta mengajar sebagai Visiting Professor di IAE de Grenoble & University of Pau et Pays de I’Adour Prancis; atau Ariel Heriyanto, Senion Lecturer and Converner of Indonesia Program di Asia Institute yang juga penulis buku dan Co-editor Challenging Authorirarianism in Southeast Asia. Tak ketinggalan di bidang teknologi informasi (TI) ada anak muda seperti Wahyu Aditya (27) pemenang lomba animasi bersama BBC London dan dinobatkan sebagai Young Screen Entrepreneur 200; Muchamad R. Kamil (35) Peraih Internasional Young Design Entrepreneur of The Year ; dan anak-anak muda Indonesia di Castle Production yang karya animasinya mendapat Golden Remi Award dari Houston-Texas.

Semua fakta di atas menunjukan betapa potensialnya SDM negeri ini sebenarnya. Ketika talenta-talenta muda yang brilian bertemu dengan pendidikan dan pengelolaan yang sama baiknya
Tidak ada yang salah dengan manusia Indonesia, yang kita butuh hanya keberanian untuk menunjukan eksistensi (Exsistency value) kita – tidak lagi dalam perdebatan kata-kata an sich, yang telah banyak menguras energi kita, tapi justru lebih – pada kompetisi action (kerja-kerja) nyata. Dalam bab pembangunan SDM Indonesia, pertama, pemerintah sebagai pengelola sistem harus mampu membangun iklim yang kondusif terhadap budaya edukasi dan pemberdayaan manusia-manusia Indonesia secara adil, artinya tidak mengenal diskriminasi (baik ekonomi maupun status sosial). Eksistensi gemilang anak-anak bangsa dibanyak negara maju -- yang notabane, sangat serius memperhatikan edukasi dan pemberdayaan manusianya – menunjukan bahwa pada kondisi yang sama, potensi SDM kita berada setara bahkan mengungguli SDM yang mereka miliki.; kedua, masyarakat Indonesia sendiri harus mau merubah sikap dan pola pikir inlander (bangsa terjajah) yang selama lebih dari 350 tahun secara tidak sadar didoktrinasi kepada rakyat Indonesia dan mengakar hingga sekarang. Harus kita cerabut setiap akar-akarnya dari karakter pribadi masyarakat bangsa ini, dan mengantinya dengan benih-benih optimisme peradaban, sebagai bangsa yang benar-benar merdeka secara fisik dan mental. Sehingga Merah Putih benar-benar berkibar, mengguncang dunia dengan karya-karyanya. ■ Prd

Pertanyaanya, sudahkah kita siap dan berani melakukannya?
Karena MERAH itu … BERANI !!
Selengkapnya...

STUDI NEOLIB DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NEGARA #2


(Logika Dasar dan Arah Perkembangan Tatanan Dunia yang Bersifat Unipolar serta Upaya Emperium AS)

Istilah ‘neo-liberalisme’ yang luas digunakan dewasa ini pada mulanya adalah nama yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem. Ekonomi-politik rezim Pinochet di Chile (1973-1990) menjadi model par excellence yang dimaksud para pejuang itu. Dari sana istilah ‘neo-liberalisme’ menyebar.

Ketika kediktatoran mulai surut di benua itu, istilah ‘neo-liberalisme’ dipakai untuk menunjuk kinerja ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem, meskipun negeri seperti Chile tidak lagi memakai sistem ekonomi pasar bebas se-ekstrem rezim Pinochet.

Maka mulailah kisah pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ secara amat longgar seperti sekarang. Trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi, misalnya, memang merupakan motor kebijakan ekonomi ‘neo-liberal’ di Amerika Latin waktu itu. Namun, tidak semua bentuk deregulasi-liberalisasi-privatisasi merupakan agenda neo-liberal, Salah-kaprah yang terlibat dalam pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ tentulah kisah menarik, Singkat cerita, hasilnya adalah filsafat ‘ekonomi pasar sosial’. Pertama, di jantung filsafat Ordo-Liberal adalah gagasan anti-naturalistik tentang ekonomi pasar.
Artinya, ‘pasar’ (market) bukan peristiwa alami seperti musim semi atau tsunami, tetapi satu dari beragam relasi yang diciptakan manusia. Karena itu, pasar dapat dibentuk, dihancurkan,
Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas. Dengan tujuan akhirnya adalah pengerukan asset suatu negara dan penguasaan kebijakan pemerintahan (hak berdaulat) suatu pemerintahan.

Sekali lagi, Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan hak-hak daya tawar kolektif lainnya.

Globalisasi dipilih menjadi sarana yang sangat “nyaman” dalam mengemas (dibaca: melegalisasi) inlfiltrasi paham neolib ke seantero dunia. Sehingga falsafah sistem – siapa yang memiliki sistem, dia yang akan menguasai dan mengendalikannya -- kemudian bekerja dengan baik. Selama satu dekade terakhir, globalisasi setidaknya berdampak terhadap perkembangan pesat tiga teknologi dunia, yaitu : teknologi trasportasi, teknologi telekomunikasi dan teknologi informasi. Teknologi trasportasi telah menghilangkan jarak tempat, teknologi telekomunikasi telah menghilangkan jarak waktu dan teknologi informasi menghilangkan jarak ruang dan pengetahuan. Hari ini, dunia hanya seperti dusun kecil di ujung galaksi bimasakti, kita tidak lebih seperti ikan-ikan di dalam satu akuarium, dimana semua orang saling lihat, semua paham saling mempengaruhi, dan semua pihak merasa ikut berhak terlibat di dalam setiap kebijakan yang dianggap menjadi bagian dari kepentingannya. Situasi seperti ini membuat kedaulatan di banyak negara dunia (terutama negara berkembang, sedang berkembang dan tradisional) semakin melemah. Kelemahan ini yang kemudian dimanfaatkan untuk “mengelola” agar negara-negara di dunia agar tetap berada dalam kontrol aktor-aktor globalisasi dan melakukan apa yang mereka inginkan.

Salah satu ujung tombak eksekusinya adalah apa yang kita kenal dengan bandit Ekonomi atau Economic Hit Man (EHM) . Mereka merupakan orang-orang pilihan dan terlatih (baca:profesional) yang dibayar mahal hingga triliunan dollar untuk ditugaskan secara khusus untuk menginfiltrasi negara-negara dunia dengan konsep kebijakan –kebijakan (terutama dalam bidang ekonomi – politik) turunan neolib yang mencurangi negara-negara miskin di dunia. Pekerjaan mereka adalah membangun imperium Amerika. Membawa, merekayasa situasi dimana berbagai sumberdaya (dunia) sebisa mungkin keluar dan menuju negara ini (Amerika), menuju berbagai perusahaan mereka, dan menuju pemerintahan mereka, dan itulah kenyataan yang terjadi sebernarnya selama ini. Mereka (telah membangun imperium terbesar dalam sejarah dunia). Ini dikerjakan lebih dari 50 tahun sejak Perang Dunia II, dengan kekuatan militer yang benar-benar sangat kecil. Hanya suatu kejadian yang amat jarang, yaitu Irak, dimana serbuan kekuatan militer sebagai tindakan paling akhir. Imperium ini, tidak seperti berbagai sejarah lain dunia, telah dibangun terutama melalui manipulasi ekonomi, melalui pencurangan, melalui penipuan, melalui bujukan sehingga mereka mengikuti jalan kita, melalui para "economic hit men".

Dan ketika skenario economic hit men ini gagal, baru dipilih langkah-langkah lain untuk dilakukan, ini yang kita kenal dengan "serigala-serigala" (the jackals). "Serigala-serigala" itu adalah CIA, yang mengirimkan orang-orangnya masuk kesebuah negara (contohnya irak) dan mencoba menggerakkan sebuah kudeta atau revolusi. Jika ini tidak berhasil, maka pilihannya adalah melakukan operasi pembunuhan terhadap para pemegang kebijakan yang menghalagi pilihan yang diberikan atau bahkan membuat sekenario invasi militer terhadap seluruh negeri.

Gabungan ketiganya dalam sistem kapitalisme neoliberal inilah yang akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme (penjajahan dalam bentuk baru).
Selengkapnya...