PERUBAHAN GERAKAN DI ERA GLOBAL, MENUJU KAMMI YANG LEBIH BAIK
Sebuah refleksi pergerakan mahasisiwa

Seperti yang dikatakan oleh banyak pengamat dunia, globalisasi yang terjadi hari ini, setidaknya telah merangsang dengan begitu pesat perkembangan tiga teknologi besar dunia, yaitu : teknologi trasportasi, teknologi telekomunikasi dan teknologi informasi. Teknologi trasportasi telah menghilangkan jarak tempat, teknologi telekomunikasi telah menghilangkan jarak waktu dan teknologi informasi menghilangkan jarak ruang dan pengetahuan. Maka hari ini, dunia hanyalah seperti dusun kecil, kita tidak lebih seperti ikan-ikan di dalam satu akuarium, dimana semua orang saling lihat, semua paham saling mempengaruhi, dan semua pihak merasa ikut berhak terlibat di dalam setiap kebijakan yang dianggap menjadi bagian dari kepentingannya.

Situasi seperti ini, telah memunculkan negara-negara barat – yang unggul diketiga aspek tersebut kemudian -- menjadi aktor-aktor superior bagi globalisasi itu sendiri. Mereka telah membentuk dunia menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Intervensi politik luar negeri, monopoli asing, infiltrasi sosial budaya bahkan invasi militer, menjadi hal yang terkadang tidak terelakan terjadi, dalam menjaga hegemoni kekuasaan mereka. Situasi seperti ini membuat kedaulatan di banyak negara dunia (terutama negara berkembang, sedang berkembang dan tradisional) menjadi semakin melemah.
Tidak terlepas Indonesia sendiri, sebagai negara yang -- dalam berbagai aspek -- sedang melakukan perubahan-perubahan besar akan sendi-sendi kehidupan bangsanya. Berbagai upaya penyelesaian krisis yang terjadi pasca reformasi nasional yang dipelopori mahasiswa (1998) belum menunjukan celah-celah progresifitas yang diharapkan bangsa ini. Kemasan kita mungkin sudah berubah, tetapi subtansi perubahan – pembangunan nilai-nilai utama kemanusiaan dalam keadilan & kesejahteraa – itu sendiri masih jauh dilangit bumi kenyataan.

Berbagai konstalasi ekonomi, politik bahkan kondisi lingkungan dunia, selalu memposisikan bangsa ini dalam kerugian & permasalahan. Mulai dari kenaikan minyak dunia dan krisis pangan, aksi terorisme dunia, sampai krisis cadangan energi dan pangan dunia.

KAMMI dan perubahan bangsa
Stagnansi kepemimpinan nasional & daerah, ketimpangan sosial & ekonomi, menggilanya korupsi & eksploitasi alam di negeri ini, hegemoni kapitalisme, kebobolan pertahanan & diplomasi bangsa, krisis jati diri bangsa & kerapuhan generasi muda serta berbagai penyakit masyarakat yang semakin kronis, masih saja menjadi bagian dari keseharian kehidupan bangsa ini.

Apa yang salah dengan cara kita mengurus negara ini dan perubahan-perubahannya didalamnya? Pertanyaan ini membawa kita untuk kembali memikirkan, merancang dan menyusun strategi bagi penyempurnaan perubahan itu di masa depan. Dalam hal ini kita akan melihat bagaimana KAMMI mampu bergerak dalam koridor-koridor paradigma pergerakannya.

Pertama, sebagai gerakan da’wah tauhid. KAMMI harus semakin mengokohkan posisinya sebagai benteng ideologi bangsa. Tidak ada yang salah dengan globalisasi ini, namun apa yang perlu kita pahami, bahwa ia tidak datang seorang diri – ada banyak pesan dan kepentingan yang ia bawa.
Berbagai agenda-agenda neoliberalis, sesungguhnya tidak saja menyerang ruang-ruang ekonomi-politik bangsa ini untuk kemudian memperkokoh hegemoni imperium Amerika, tetapi sesungguhnya juga mengincar peradaban islam indonesia sebagai akidah kita. Berbagai teori peradaban yang berkembangan di barat, telah menimbulkan ketakutan yang berlebihan, akan munculnya eksistensi peradaban islam -- tidak saja di Indonesia, tapi di seluruh negeri muslim – terlebih Indonesia merupakan negeri muslim terbesar di dunia.
Kondisi ini membuat berbagai ideolodi lain merasa perlu untuk ‘meracuni’ pertumbuhan islam yang dalam beberapa dekade terakhir berkembangan dengan pesat. Sehingga upaya-upaya untuk menjauhkan nilai-nilai islam terus dilakukan. Baik secara langsung (menyerang keyakinan) maupun tidak langsung (penyerangan ekonomi, politik dan budaya islam).

Kedua, sebagai gerakan Intelektual profetik. KAMMI dengan format muslim negarawan-nya, harus kembali mengkonsep gerakan-gerakan perlawanannya tidak hanya hadir sebagai pendobrak stagnasi dan penyimpangan perubahan, namun juga menjadi kontributor terbesar untuk solusi nyata bagi bangsa ini. mengutip perkataan muasis da’wah bangsa ini, bahwa kita seharunya adalah orang-orang yang sudah bergerak dari tataran vokalitas menuju realita totalitas kerja dan amal.
Inilah kurang lebih, yang dapat ditafsirkan dari transformasi : dari gerakan politik aksi menuju gerakan politik berbasis kompetensi3. Karena sebuah solusi strategis, tidaklah dapat lahir kecuali dari sebuah kajian mendalam yang memiliki hubungan akar-akar keilmiahan, sehingga sebuah konsep dan gagasan memiliki kekuatan penuntasan akan masalah hingga ketitik sumbernya. Di sinilah pentingnya kader untuk memfokuskan dirinya sesuai basis kompetensinya yang dapat menunjang aksi strategis gerakan.

Ketiga, sebagai gerakan sosial independen. Saudaraku, pertama harus selalu kita ingat, bahwa KAMMI sebagai sebuah gerakan tidaklah lahir, kecuali untuk menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan ummat islam dan keunggulan sistem Robbani-nya yang universal diatas berbagai sistem yang ada.

Permasalahan bangsa ini tidak dapat diselesaikan secara segmentatif dan parsial (terpisah-pisah). Diperlukan sebuah sistem yang mampu menembus sekat-sekat keterbatasan – ruang, waktu & relativitas kebenaran -- pikiran manusia. Itulah sistem multidimensional & komprehensif (menyeluruh) dari islam. Kedua, yang juga perlu kita ingat, bahwa realisasi sistem itu di masyarakat tidaklah harus selalu dalam kemasan yang sempit. Maksudnya adalah tindakan strategis yang harus kita bangun kedepan, bagaimana mengemas penerapan solusi-solusi islam sebagai sebuah solusi universal kebangsaan yang tidak terelakkan bagi perbaikan bangsa ini di masa depan. Ia harus lahir dari kesadaran bahwa KAMMI harus mulai mentransformasikan diri dari sekedar gerakan moral (moral Force) menjadi perjuangan kepentingan (Interesting Group)2. Maka harus menjadi kepentingan kita untuk melakukan infiltrasi keislaman dalam sendi-sendi bangsa secara massif. Sehingga tanpa kita perlu ‘sibuk’ mengatakan keungulan islam sebagai sistem solutif – siapapun dikemudian hari, tak akan mampu mengingkari kesempurnaan dan keindahannya.

Keempat, sebagai gerakan politik ektraparlementer. Demokrasi memang bukanlah sistem islam (secara langsung), namun yang sama-sama kita pahami, asas kesetaraan dan persamaan yang dikandung di dalamnya sejalan dengan kaidah-kaidah nilai-nilai keislaman. Maka untuk pengawalan demokrasi yang egaliter inilah KAMMI harus terus mentranformasikan dirinya.

Gerakan estraparlementer, yang selama ini lebih dikenal dengan mimbar-mimbar jalannya dan demonstrasi yang terkesan labil – karena sempitnya lingkup waktu (temporary) dan dampak (presure effect) yang dihasilkan -- untuk ukuran zaman ini, harus mulai ditransformasi menjadi gerakan jaringan yang lebih strategis. Gerakan mahasiswa tidak dapat melakukan perlawanan yang efektif diera globalisasi jika tidak diimbangi dengan perubahan kapasitas dirinya. Sekedar kapasitas gerakan jalanan tidak cukup mampu mengubah kondisi jika tidak terlibat dalam sistem jaringan (networking system). Jaringan strategis merupakan sarana efektif mengkomunikasikan dan menekan kritik pada upaya perubahan. Media, aliansi gerakan nasional dan internasional serta berbagai pihak yang memiliki kesamaan visi – dari spesialisasi bidang & posisi apapun – harus dirancang menjadi bagian dari pendukung perjuangan.

Cahaya di atas cahaya
Kemenagan islam di negeri ini merupakan cita-cita perjuanga KAMMI yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun sebagaimana yang sama-sama kita pahami, bahwa ia dapat lahir dalam berbagai kondisi lapangan. Bisa lahir ketika, ke-syumuliatul-an risalah islam ini tersampaikan dan tercermin dalam kehidupan bangsa ini. Bisa juga lahir dari kehancuran eksistensi segala kebatilan dan kedzaliman yang selama ini menjerat bangsa ini dalam keterbelakangan, kobodohan dan kehinaan. Namun juga dapat lahir dari optimalisasi peran strategis yang kita lakukan dalam mewujudkan kemenangan-kemenangan itu sendiri. Kalau perubahan-perubahan dalam kebaikan adalah sebuah kemenangan di mata Allah, maka tetap berubah (bertranformasi) membangun korelasi dengan jiwa zaman perjuangannya, juga merupakan syarat-syarat sebuah kemenangan yang sesungguhnya.
Wallahu’alam Selengkapnya...

Leader vs Leadership


Short Opinion


Pemimpin dan kepemimpinan, hakikatnya bukanlah berasal dari rahim yang sama. Pemimpin (leader) hanyalah sebatas jabatan, sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah sebuah karakter. Karenanya, kapasitas kepemimpinan tergantung dari sejauhmana nilai-nilai karakter itu terinternalisasi di dalam diri seseorang. Efektivitasnya bukan karena seruannya yang membuat telinga tuli, atau teriakannya yang memekakan dan menggema dimana-mana, tetapi terletak pada perilakunya yang terampil menggugah

setiap orang untuk membangun gagasan besar dalam kerja-kerja yang besar pula. Ia adalah personal power -- lebih dari sekedar positional power.

Kepemimpinan adalah fitrah kemanusiaan, misi hidup dan pengabdian dalam mengemban amanah kehidupan. Setiap pribadi adalah pemimpin dalam kapasitas kepemimpinannya masing-masing. Karena ia nya bukan semata lahir dari bakat, maka dengan demikian ia – bisa dan harus dipelajari.

Kapasitas itu adalah internalisasi dari komitmen moral yang tinggi, kekuatan mental, kematangan pribadi, energi semangat spiritual yang membara, motivatif, keberanian mengambil tanggung jawab dan inspiratif, yang kesemuanya terbingkai dalam keluasan wawasan, kearifan dan keteladanan. ■ Prd Selengkapnya...

STUDI NEOLIB DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NEGARA #5
Islam is the end of History

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (Q.S Al Anbiya’ [21]: 107)

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada semua ummat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan ...” (Q.S Saba’ [34]:28)
“Mahasuci Allah Yang telah menurunkan Furqan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia) ...
(Q.S al-Furqan[25]:1)

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama walau orang-orang musyrik tidak menyukainya” (Q.S at-Taubah [9]:33)

Mereka (Barat) berpandang terlalu sempit, sehingga terkesan melihat dari satu sisi Barat saja yang tidak mau kehilangan hegemoninya, lantas ceroboh melihat pertarungan peradaban sebagai pertarungan militer, dimana kekuatan militer akan merebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan dengan kekerasan, padahal ini cara pandang yang salah terhadap peradaban-peradaban yang ada terutama Islam.

Pertama, yang lebih tepat dalam menggambarkan hubungan antara peradaban-peradaban yang ada, bila tetap mengelaborasikan hipotesa Huntington, adalah hipotesa ke tiga : perlombaan peradaban. Perlombaan peradaban berarti akan memberikan peluang yang sama kepada setiap peradaban untuk berlatih dan mempersiapkan diri dengan modal ideologi dan moral, SDM dan teknologi (intellectual capital), ekonomi dan sebagainya – diluar kontek kekuatan kekerasan, pelanggaran HAM dan pembodohan.

Karena kompetisi peradaban, akan memunculkan satu peradaban sebagai pemenang, kalah atau draw. Bisa juga peradaan hanya sebagai sparring partner saja atas asaz saling menguntungkan (mutualisme). Perlombaan (competition) berbeda dengan pertarungan (clash), karena tidak ada unsur menghancurkan dan mematikan. Menang kalah peradaban tersebut dibatasi dengan konvensi-konvensi international yang bersifat universal dan harus dipatuhi bersama. Dalam hal ini Iran dapat dijadikan contoh dalam membangun petanding baru untuk menantang hegemoni barat.

Kedua, setiap peradaban seharusnya belajar dari sejarah perjalanan peradaban itu sendiri, Prancis Fukuyama, Bernad Lewis, Samuel P. Huntington dan para pemikir barat lainnya yang paranoid terhadap Islam harus menengok kembali sejarah perjalanan umat manusia bahwa setiap peradaban memiliki batas waktunya dan setiap umat memiliki umurnya, dan didalam hidup ini berlaku hukum alam (sunatullah) yang tidak dapat dihindari, dielakan dan dirubah oleh akal dan tangan manusia, termasuk siklus kejayaan dan kehancuran suatu peradaban manusia, ia adalah sunatullah.

Arnold Toynbee sorang sejarawan Barat mengatakan bahwa di bumi ini telah ada sekitar 21 peradaban umat manusia yang jatuh dan silih berganti.
Ketiga, setiap peradaban hendaknya memahami, bahwa kejayaan (tamkin) hanya terjadi ketika suatu peradaban memahami syarat-syarat, fase-fase, tujuan, hambatan dan hal-hal yang mendukung kejayaan itu sendiri.

Peradaban Fir-aun, kala itu dapat dikatakan jauh melebihi kekuasaan Barat hari ini, karena kekuasaanya meliputi budaya, teknologi, ekonomi dan militer. Fir-aun menguasai kekuatan natural dan supra-natural sehingga mewujudkan kekuatan militer yang tangguh. Sementara teknologinya dapat dilihat dari kemampuannya mendirikan bangunan pencakar langit untuk menandingi Tuhan-nya Nabi Musa as. Semua itu dilakukan dengan dukungan kekuatan ekonomi dan SDM militan. Akan tetapi kekuatan Fir-aun mulai goyah dengan munculnya kekuatan kecil Nabi Musa dan Nabi Harun yang mengusung peradaban baru yang bertumpu pada nilai keimanan.

Kemenangan (tamkin) sebuah peradaban tidak hanya di tentukan oleh faktor fisik. Belajar dari sekian banyak peradaban yang datang silih berganti selama sejarah kemanusiaan, ternyata faktor moral (value) dan ketuhanan (trust) yang paling menentukan. Al- Qur’an menunjukan bukti otentik, bagaimana kesudahan peradaban Fir-aun, kaum ‘Aad dan kaum Tsamut. Selengkapnya...

STUDI NEOLIB DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NEGARA #4
Negeri-Negeri Muslim dan Peradaban Islam

Jikalau kita mau kembali kembali kepada asal sejarah kelahiran neoliberalisme, kita akan melihat bahwa ia lahir dari ketakutan (hasil ramalan-ramalan) barat akan lahirnya pesaing-pesaing baru dari peradaban yang telah dibangun (Amerika). Sehingga mereka berupaya membuat suatu rekayasa global yang dapat mengontrol (baca: menghambat) berbagai peradaban lain yang akan tumbuh.

Dan jika melihat efektivitas dampak dan wilayah serangan isme ini, dapat dikatakan negeri-negeri islam merupakan sasaran utama mereka. Sejalan dengan pernyataan Huntington di dalam bukunya "The Clash of Civization and The Remaking and World Order". Ia menuliskan bahwa Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah membuat Barat tidak merasa aman. Kemudian dia meneruskan pemikirannya ini dalam bukunya "Who Are We?" Disini Ia lebih jelas lagi memvonis Islam sebagai musuh Barat menggantikan posisi komunis pasca perang dingin. Bahkan Petrick J. Buchanan dalam artikelnya "Is Islam an Enemy the United States ?" Ia menulis, Bagi sebagian orang Amerika yang mencari musuh baru untuk uji coba kekuasaan setelah runtuhnya komunis, Islam adalah pilihannya. Rekomendasi terpenting dari Huntington, pasca-Perang Dingin tidak berarti tumbangnya Blok Timur yang sosialis-komunis dan langsung mengubah wajah ke arah kapitalisme-Barat. Ada kecenderungan, Negara negara bekas Blok Timur itu akan mencari identitas masing-masing yang boleh jadi kembali ke identitas masa lalunya. Timur-Tengah akan kembali ke Islam, Cina ke budaya leluhurnya, dan bermuara pada terjadinya 'perbenturan peradaban'. Luka lama antara Islam dengan Barat, yang sudah 1.300 tahun yang nyaris terkubur, akan terkuak kembali.

Sekenario Serangan 11 September 2003, invasi AS atas Afganistan, Irak dan Somalia, Dukunan AS atas Israel, Tekanan AS atas Iran, insidenc karikatur Nabi Muhammad SAW, seolah-olah membenarkan rumusan Lewis dan muridnya Huntington tentang benturan (clash) peradaban. Alibi ini dipermudah dengan banyaknya negeri-negeri muslim -- yang sedang berada pada stasus negera berkembangan, sedang berkembang bahkan tradisional -- di sebagian besar benua Afrika dan Asia yang sangat mudah di intervensi secara ekonomi dan politik.

Hari ini tidak saja negeri-negeri muslim yang telah menyadari, bahwa telah terjadi berubahan dari semangat globalisasi dunia menjadi Amerikanisasi dunia, (yang Unipolar/ menuju satu kutub). Negara seperti Skandinavia, Jepang dan model sosial Eropa. Bahkan mereka yang berada di negara maju sekalipun, mulai merasa khawatir globalisasi digunakan untuk memenangkan “model liberal Anglo-Amerika”. Secara objektif mereka menilai, jika Model ekonomi-politik Amerika tersebut memang unggul jika berdasarkan PDB (Product Domestic Bruto) suatu negara, sangat mungkin hasilnya tidak demikian jika digunakan dimensi lain sebagai ukuran, misalnya kualitas hidup, pengentasan kemiskinan, atau bahkan pelayanan terhadap masyarakat, yang ternyata masih kalah efektivitasnya dengan sistem model lain yang diterapkan di beberapa negara Eropa.

Jika benar yang dikatakan Amerika, bahwa : bagi AS, kemenangan dalam Perang Dingin pada hakikat adalah globalisasi berdasarkan pemaknaannya. persis seperti yang diungkapkan Thomas L Friedman dalam buku Understanding Globalization: The Lexus and The Olive Tree (2000) yang menyebutkan bahwa pasca-Perang Dingin sistem internasional sudah berubah, dan dirumuskan oleh sistem dalam globalisasi itu sendiri. Dan, globalisasi tidak lain adalah Amerika Serikat sendiri. Maka dengan semua realita yang ada, menunjukan bahwa pemaksaan sistem ini telah membunuh ratusan ribu jiwa sebagai korban perang, dan puluhan ribu jiwa manusia mati kelaparan setiap harinya, serta puluhan negara bangkrut dan terjajah karena jeratan ekonomi yang mereka buat. Maka sudah saatnya kaum muslimin di seluruh dunia untuk bersama, mengatur langkah dengan lebih cerdas dan serius, untuk melakukan islah (perbaikan) dan menunaikan kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar nya, sebagai rahmat (keselamatan, kedamaian, dan kesejaheraan) bagi sekalian alam, dalam peradaban yang baru. Selengkapnya...