Mengguncang Dunia!


Bahwa bangsa ini memiliki segudang aset SDA (natural resourches), seperti tambang batu bara, minyak bumi, gas alam, emas, timah, intan atau mineral berharga lainnya, tentu kita semua tahu. Demikian juga soal suburnya bumi Indonesia dan begitu kayanya kandungan laut yang kita miliki. Namun siapa yang menyangka, kalau sebenarnya bangsa ini memiliki aset yang jauh lebih berharga dari itu semua, yang sejatinya merupakan modal dasar terbesar kita. Dan modal dasar itu bernama : sumber daya manusia.

Memang tidak banyak orang yang melihat betapa potensialnya SDM kita – bahkan sebagian dari kita malah me-marginal-kannya. Berbagai fenomena politik, sosial dan moral yang terus terjadi di sekitar kita, seolah semakin mengukuhkan image yang ada. Mulai dari rendahnya tingkat kejujuran dan kedisiplinan masyarakat kita, kualitas pendidikan yang “dipertanyakan”, budaya para intelektualnya yang senang sekali berbicara & berdebat – tetapi “nol besar” ketika diminta realisasi & aksi nyatanya, sampai-sampai kemasalah attitude tenaga kerja kita yang masih jauh dari standar produktifitas yang diharapkan. Hingga berkembang sebuah anekdot: kalau ada suatu pekerjaan yang sama, diberikan kepada orang Jepang – selesai dalam dua jam, orang Eropa – mampu menyelesaikan dalam tiga jam dan orang Singapura – selesai dalam lima jam saja, orang Indonesia sampai sore pun belum tentu selesai juga. Sungguh tragis mendengarnya.

Padahal sebenarnya tidak sedikit putra-putri negeri ini telah pengukir berbagai prestasi kegemilangan di tingkat dunia – dalam ajang olimpiade ilmu pengetahuan internasional (fisika, matematika, dan kimia) misalnya -- talenta dan kecerdasan anak-anak Indonesia terbukti mampu mengalah anak-anak belahan dunia lainya. Untuk bidang kepakaran & sains level dunia, ada Prof. J.T Sri Sumantyo yang menjadi Associate Professor di Universitas Chiba bidang Environmental Remote Sensing; Bambang Hidayat yang professor dan anstronom kaliber internasional; Prof. Nelson Tansu (29) asal medan yang merupakan professor termuda di Amerika Serikat, ahli Electrical Engineering, pemiliki tiga hak paten di bidang: semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan High Power serta mendapat anugerah The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award, mengalahkan 300 tesis doktoral lainnya; dan Tri Mumpuni, wanita Indonesia peraih Climate Hero dari WWF international yang dijuluki pejuang lingkungan berkat inovasinya di bidang kelistrikan dan teknologi mikrohidro. Bahkan masih ada puluhan bahkan ratusan nama-nama lain. Seperti bidang pemikiran dan tulis-menulis, ada Firmanzah Ph.d Major Strategic and Management International yang penulis buku dan media massa eropa serta mengajar sebagai Visiting Professor di IAE de Grenoble & University of Pau et Pays de I’Adour Prancis; atau Ariel Heriyanto, Senion Lecturer and Converner of Indonesia Program di Asia Institute yang juga penulis buku dan Co-editor Challenging Authorirarianism in Southeast Asia. Tak ketinggalan di bidang teknologi informasi (TI) ada anak muda seperti Wahyu Aditya (27) pemenang lomba animasi bersama BBC London dan dinobatkan sebagai Young Screen Entrepreneur 200; Muchamad R. Kamil (35) Peraih Internasional Young Design Entrepreneur of The Year ; dan anak-anak muda Indonesia di Castle Production yang karya animasinya mendapat Golden Remi Award dari Houston-Texas.

Semua fakta di atas menunjukan betapa potensialnya SDM negeri ini sebenarnya. Ketika talenta-talenta muda yang brilian bertemu dengan pendidikan dan pengelolaan yang sama baiknya
Tidak ada yang salah dengan manusia Indonesia, yang kita butuh hanya keberanian untuk menunjukan eksistensi (Exsistency value) kita – tidak lagi dalam perdebatan kata-kata an sich, yang telah banyak menguras energi kita, tapi justru lebih – pada kompetisi action (kerja-kerja) nyata. Dalam bab pembangunan SDM Indonesia, pertama, pemerintah sebagai pengelola sistem harus mampu membangun iklim yang kondusif terhadap budaya edukasi dan pemberdayaan manusia-manusia Indonesia secara adil, artinya tidak mengenal diskriminasi (baik ekonomi maupun status sosial). Eksistensi gemilang anak-anak bangsa dibanyak negara maju -- yang notabane, sangat serius memperhatikan edukasi dan pemberdayaan manusianya – menunjukan bahwa pada kondisi yang sama, potensi SDM kita berada setara bahkan mengungguli SDM yang mereka miliki.; kedua, masyarakat Indonesia sendiri harus mau merubah sikap dan pola pikir inlander (bangsa terjajah) yang selama lebih dari 350 tahun secara tidak sadar didoktrinasi kepada rakyat Indonesia dan mengakar hingga sekarang. Harus kita cerabut setiap akar-akarnya dari karakter pribadi masyarakat bangsa ini, dan mengantinya dengan benih-benih optimisme peradaban, sebagai bangsa yang benar-benar merdeka secara fisik dan mental. Sehingga Merah Putih benar-benar berkibar, mengguncang dunia dengan karya-karyanya. ■ Prd

Pertanyaanya, sudahkah kita siap dan berani melakukannya?
Karena MERAH itu … BERANI !!
Selengkapnya...

STUDI NEOLIB DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NEGARA #2


(Logika Dasar dan Arah Perkembangan Tatanan Dunia yang Bersifat Unipolar serta Upaya Emperium AS)

Istilah ‘neo-liberalisme’ yang luas digunakan dewasa ini pada mulanya adalah nama yang dipakai para pejuang demokrasi di Amerika Latin untuk menggambarkan watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem. Ekonomi-politik rezim Pinochet di Chile (1973-1990) menjadi model par excellence yang dimaksud para pejuang itu. Dari sana istilah ‘neo-liberalisme’ menyebar.

Ketika kediktatoran mulai surut di benua itu, istilah ‘neo-liberalisme’ dipakai untuk menunjuk kinerja ekonomi pasar-bebas dalam coraknya yang ekstrem, meskipun negeri seperti Chile tidak lagi memakai sistem ekonomi pasar bebas se-ekstrem rezim Pinochet.

Maka mulailah kisah pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ secara amat longgar seperti sekarang. Trio deregulasi-liberalisasi-privatisasi, misalnya, memang merupakan motor kebijakan ekonomi ‘neo-liberal’ di Amerika Latin waktu itu. Namun, tidak semua bentuk deregulasi-liberalisasi-privatisasi merupakan agenda neo-liberal, Salah-kaprah yang terlibat dalam pemakaian istilah ‘neo-liberalisme’ tentulah kisah menarik, Singkat cerita, hasilnya adalah filsafat ‘ekonomi pasar sosial’. Pertama, di jantung filsafat Ordo-Liberal adalah gagasan anti-naturalistik tentang ekonomi pasar.
Artinya, ‘pasar’ (market) bukan peristiwa alami seperti musim semi atau tsunami, tetapi satu dari beragam relasi yang diciptakan manusia. Karena itu, pasar dapat dibentuk, dihancurkan,
Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi.

Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas. Dengan tujuan akhirnya adalah pengerukan asset suatu negara dan penguasaan kebijakan pemerintahan (hak berdaulat) suatu pemerintahan.

Sekali lagi, Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan hak-hak daya tawar kolektif lainnya.

Globalisasi dipilih menjadi sarana yang sangat “nyaman” dalam mengemas (dibaca: melegalisasi) inlfiltrasi paham neolib ke seantero dunia. Sehingga falsafah sistem – siapa yang memiliki sistem, dia yang akan menguasai dan mengendalikannya -- kemudian bekerja dengan baik. Selama satu dekade terakhir, globalisasi setidaknya berdampak terhadap perkembangan pesat tiga teknologi dunia, yaitu : teknologi trasportasi, teknologi telekomunikasi dan teknologi informasi. Teknologi trasportasi telah menghilangkan jarak tempat, teknologi telekomunikasi telah menghilangkan jarak waktu dan teknologi informasi menghilangkan jarak ruang dan pengetahuan. Hari ini, dunia hanya seperti dusun kecil di ujung galaksi bimasakti, kita tidak lebih seperti ikan-ikan di dalam satu akuarium, dimana semua orang saling lihat, semua paham saling mempengaruhi, dan semua pihak merasa ikut berhak terlibat di dalam setiap kebijakan yang dianggap menjadi bagian dari kepentingannya. Situasi seperti ini membuat kedaulatan di banyak negara dunia (terutama negara berkembang, sedang berkembang dan tradisional) semakin melemah. Kelemahan ini yang kemudian dimanfaatkan untuk “mengelola” agar negara-negara di dunia agar tetap berada dalam kontrol aktor-aktor globalisasi dan melakukan apa yang mereka inginkan.

Salah satu ujung tombak eksekusinya adalah apa yang kita kenal dengan bandit Ekonomi atau Economic Hit Man (EHM) . Mereka merupakan orang-orang pilihan dan terlatih (baca:profesional) yang dibayar mahal hingga triliunan dollar untuk ditugaskan secara khusus untuk menginfiltrasi negara-negara dunia dengan konsep kebijakan –kebijakan (terutama dalam bidang ekonomi – politik) turunan neolib yang mencurangi negara-negara miskin di dunia. Pekerjaan mereka adalah membangun imperium Amerika. Membawa, merekayasa situasi dimana berbagai sumberdaya (dunia) sebisa mungkin keluar dan menuju negara ini (Amerika), menuju berbagai perusahaan mereka, dan menuju pemerintahan mereka, dan itulah kenyataan yang terjadi sebernarnya selama ini. Mereka (telah membangun imperium terbesar dalam sejarah dunia). Ini dikerjakan lebih dari 50 tahun sejak Perang Dunia II, dengan kekuatan militer yang benar-benar sangat kecil. Hanya suatu kejadian yang amat jarang, yaitu Irak, dimana serbuan kekuatan militer sebagai tindakan paling akhir. Imperium ini, tidak seperti berbagai sejarah lain dunia, telah dibangun terutama melalui manipulasi ekonomi, melalui pencurangan, melalui penipuan, melalui bujukan sehingga mereka mengikuti jalan kita, melalui para "economic hit men".

Dan ketika skenario economic hit men ini gagal, baru dipilih langkah-langkah lain untuk dilakukan, ini yang kita kenal dengan "serigala-serigala" (the jackals). "Serigala-serigala" itu adalah CIA, yang mengirimkan orang-orangnya masuk kesebuah negara (contohnya irak) dan mencoba menggerakkan sebuah kudeta atau revolusi. Jika ini tidak berhasil, maka pilihannya adalah melakukan operasi pembunuhan terhadap para pemegang kebijakan yang menghalagi pilihan yang diberikan atau bahkan membuat sekenario invasi militer terhadap seluruh negeri.

Gabungan ketiganya dalam sistem kapitalisme neoliberal inilah yang akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme (penjajahan dalam bentuk baru).
Selengkapnya...

STUDI NEOLIB DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NEGARA #1


(Logika Dasar dan Arah Perkembangan Tatanan Dunia yang Bersifat Unipolar serta Upaya Emperium AS)

Berahirnya perang dingin (cold war) di Abad ke-20, dan keluarnya Amerika dan sekutunya (barat) sebagai pemenang dan pengendali tunggal dunia dengan duduk diatas puncak 'kekuasaan Barat' Amerika Serikat sebagai the only one superpower in the world.

Sejak saat itu sibuklah para pemikir barat maupun non-barat, mencari berbagai hipotesa dan ramalan masa depan, bagaimana kelanjutan dari episode perjalan umat manusia di muka bumi ini. Akankah ada peradaban lain yang akan menggantikan posisi peradaban barat dan posisi komunis sebagai musuh barat? Kalaulah ini merupakan the end of history (akhir sejarah manusia) maka peradaban barat inilah yang akan memimpin umat manusia hingga akhir zaman dengan semua “keberhasilan” sepak terjangnya selama ini.

Prancis Fukuyama salah seorang ilmuan yang berpengaruh di Barat melontarkan pemikirannya dalam artikelnya di jurnal Interest 1989 yang berjudul "The End of History?" Ia mengatakan bahwa "Setelah Barat melakukan rival idiologinya monarki herediter, fasisme dan komunisme, dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap Demoktrasi Liberal". Ia berpendapat bahawa "Demokrasi Liberal adalah semacam titik akhir dari sebuah evolusi ideologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan". Dalam hal ini Fukuyama sepertinya memaksakan bangsa-bangsa non-Barat untuk mengikuti jejak langkah barat dan mengadopsi Demokrasi Liberal sebagai ideologi negara, barang siapa menolak, maka ia akan terseret dengan sendirinya oleh derasnya arus gelombang globalisasi.

Sedikit berbeda dengan Fukuyama, Samuel. P. Huntington melihat eksistensi peradaban barat tidak akan begitu saja memimpin dunia, karena setelah berakhirnya perang dingin terdapat beberapa peradaban yang ikut terbentuk dan akan membangun eksistensinya, peradaban-peradaban lain itu diantaranya Peradaban timur (Islam), Peradaban Konfusianisme (China), Peradaban Hindu (India), Peradaban Asia Timur (Jepang dan Korea), maupun Peradaban Animisme (sebagian Afrika). Inilah yang kemudian menurut Huntington akan mengantar dunia pada Clash of Civilization (Benturan Peradaban) yang kemudian menjadi hipotesanya. Dan mengikut yang dikatakan Bernad Lewis melalui artikelnya yang berjudul "The Roots of Muslim Rag". Ia membuat suatu paradigma bahwa setelah berakhirnya perang dingin, diantara peradaban itu, islamlah yang akan menjadi ancaman terbesar bagi peradapan barat (Amerika) sebagaimana yang ia bahas dalam buku populernya "Islam and the West".

Proposal peradaban diataslah yang kemudian menjadi salah satu yang melatar belakangi lahirnya neoliberalisme sebagai sebuah isme eksekutor dengan pilihan globalisasi sebagai salah satu sarana pendukung (baca: pewujud) hegemogi peradaban barat di dunia to be a last man in the world.
Selengkapnya...

STUDI NEOLIB DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NEGARA #3


Neoliberalisasi dalam Wajah Global Dunia

Pada awal tahun 1990-an, globalisasi disambut eufori oleh dunia, sebagai harapan baru akan wajah dunia yang lebih baik. Bagaimana tidak, aliran modal ke negara-negara berkembang meningkat enam kali lipat dalam kurun waktu (1990- 1996). Semakin mapannya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995 – yang merupakan buah kerja keras selama setah abab – menciptakan semacam aturan hukum yang kukuh bagi perdagangan internasional. Setiap orang diharapkan menjadi pemenang – baik di Negara maju maupun berkembang. Ketika itu globalisasi berarti kemakmuran bagi seluruh umat manusia.

Namun apa yang ditemukan dalam satu dekade kemudian? Komisi Dunia tentang Dimensi Sosial Globalisasi yang di bentuk ILO (didirikan di Jenewa pada 1919), mengeluarkan laporan-laporan yang berisikan isu-isu skeptis (tentang globalisasi). Hasil survei di 73 negara di seluruh penjuru dunia menyimpulkan , bahwa di seluruh dunia, kecuali Asia selatan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa mengalami peningkatan angka pengangguran yang sangat tinggi, yaitu 185,9 juta jiwa dalam kurun waktu 1990-2002. Komisi menemukan 59% masyarakat dunia hidup di negara-negara dengan tingkat kesenjangan yang meningkat, dan hanya 5% yang tinggal di negara-negara dengan tingkat kesenjangan menurun (Stiglitz, 2002).

Di Amerika Latin sebagai Negara yang dianggap paling sukses menerapkan sistem ekonomi global melalui Konsensus Washington, ternyata hanya mengalami kenaikan pendapatan per kapita tidak lebih dari 5,7% selama setengah abab, sejak tahun 1930. Sedangkan kenaikan suku bunganya malah terus menanjak hingga lebih dari 20%, yang kemudian memicu krisi pada awal 1980 di Meksiko, Argentina, Brasil, Kosta Rika dan banyak Negara lain, yang akhirnya membuat mereka gagal melunasi utangnya.
Demikian pula di AfrikaTimur, yang juga ikut merasakan euforia globalisasi pada awal kemerdekaannya di akhir 1960. Dimana untuk menyelesaikan proyek pembangunannya lantas menerima tawaran pinjaman IMF, yang berarti juga siap menjalankan kebijakan Konsensus Washington, termasuk liberalisasi yang berarti membuka pasar Afrika seluas-luasnya terhadap barang –barang asing (padahal Afrika sendiri hanya memiliki sedikit sekali barang yang dapat dijual keluar) & penerapan kebijakan uang ketat ala IMF (berupa penetapan kendala-kendala untuk mencegah negara peminjam menggunakan uang hasil peminjaman tersebut, sekalipun untuk hal yang baik, seperti subsidi publik dll), dan itu kemudian hanya membawa Afrika pada pertumbuhan 6% per tahun selama rentang 1993-1997, kebijakan ekonomi makronya bahkan tetap tidak dapat mengundang investasi asing, sedangkan tingkat produktivitas lahan pertanian mereka hanya sepertiga dari produktivitas negara –negara di Asia, hal ini diperparah dengan epidemik AIDS dan penurunan angka harapan hidup. Akibatnya, pada tahun-tahun pertama abab kedua puluh satu, jumlah penduduk miskin di Afrika meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya.

Tidak demikian dengan negara –negara di Asia Timur (Cina, Jepang dan Korea Selatan), mereka menerima kebijakan ekonomi global secara sangat hati-hati. Cina membuka pasar mereka untuk investasi asing, namun tidak untuk “uang panas” (yaitu, investasi yang masuk dalam jumlah sangat besar pada saat pasar untung, kemudian langsung menghilang ketika pasar merugi), mereka tidak menerapkan kebijakan uang ketat ala IMF secara penuh, sehingga bank-bank mereka memilih mengalirkan pinjaman untuk pengembangan industri-industri lokal dan baru dibandingkan untuk usaha real estate yang spekulatif. Hasilnya dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta, Cina menjadi negara dengan pertumbuhan tercepat di seluruh dunia, pendapatan penduduknya meningkat delapan kali lipat sejak 1978, kemiskinan (penduduk berpenghasilan 1 dollar per hari) menurun hingga ¾ kali, dan tingkat simpanan serta investasi masyarakatnya lebih dari 40% dari PDB, jauh diatas Amerika yang hanya 14% PDB. Sementara di Jepang dan Korea, saat hampir seluruh wilayah melakukan liberalisasi – membuka pasar dengan melakukan deregulasi – secara perlahan dalam jarak konsisten dengan kapasitas ekonomi. Ketika Negara-negara lain fokus dengan pertumbuhan ekspor, Pemerintah mereka malah membatasi impor yang dapat mengurangi kegiatan industri dan pertanian lokal. Ketika pihak swasta tidak menyediakan kredit jangka panjang & menyediakan bahan dasar produksi, pemerintah mereka langsung mengisi kekosongan itu. Sekarang Jepang menjadi raksasa industri high-tech dan Korea menjadi negara pembuat baja terbesar dan terefisien di dunia.

Ada apa dibalik itu semua?, setidaknya ada lima hal perlu menjadi perhatian, terhadap globalisasi yang selama ini berjalan :

• Aturan main globalisasi tidak adil, dirancang secara khusus untuk menguntungkan industri maju, kenyataannya beberapa perusahaan saat ini sangat tidak adil sehingga membuat Negara-negara miskin semakin terpuruk.
• Globalisasi mendahulukan nilai-niai kebendaan diatas nilai-nilai lain, seperti lingkungan dan kehidupan itu sendiri.
• Cara pengelolaan globalisasi telah mencabut sebagian besar kedaulatan Negara-negara berkembang. Termasuk kemampuan membuat keputusan –keputusan di bidang –bidang penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan melemahkan demokrasi
• Sementara para pendukung globalisasi mengklaim bahwa setiap orang akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi, terdapat banyak bukti yang menunjukan bahwa pihak yang dirugikan bukan hanya negara berkembang tetapi juga Negara-neraga maju.
• Dan yang terpenting , barangkali adalah sistem ekonomi yang dipaksakan (pada negara-negara berkembang), bahkan untuk beberapa kasus terlalu dipaksakan, kurang tepat dan sering kali merusak.

Bagaimana itu bisa terjadi? itu karena kebijakan ekonomi dalam globalisasi telah di neoliberalisasi- kan. Dimana neoliberalisasi berkerja untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah.
Tapi privatisasi ini tidak terjadi pada negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara Amerika Selatan dan negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi ini telah mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis kesejahteraan. Nasionalisasi yang menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan dengan dereguasi aturan-aturan ekonomi.
Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik (ini yang kemudian diadopsi, kedalam Konsensus Washington dan syarat-syarat pemberian pinjaman IMF).

Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.
Satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, menawarkan penyederhanaan politik sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam pemikiran neoliberalisme, politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah.

Neoliberalisme bertolakbelakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan proteksionisme, tetapi terkadang menggunakan ini sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dalam hubungan internasional dan ekonomi
Selengkapnya...