STUDI NEOLIB DALAM KONTEKS GLOBAL DAN NEGARA #3


Neoliberalisasi dalam Wajah Global Dunia

Pada awal tahun 1990-an, globalisasi disambut eufori oleh dunia, sebagai harapan baru akan wajah dunia yang lebih baik. Bagaimana tidak, aliran modal ke negara-negara berkembang meningkat enam kali lipat dalam kurun waktu (1990- 1996). Semakin mapannya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995 – yang merupakan buah kerja keras selama setah abab – menciptakan semacam aturan hukum yang kukuh bagi perdagangan internasional. Setiap orang diharapkan menjadi pemenang – baik di Negara maju maupun berkembang. Ketika itu globalisasi berarti kemakmuran bagi seluruh umat manusia.

Namun apa yang ditemukan dalam satu dekade kemudian? Komisi Dunia tentang Dimensi Sosial Globalisasi yang di bentuk ILO (didirikan di Jenewa pada 1919), mengeluarkan laporan-laporan yang berisikan isu-isu skeptis (tentang globalisasi). Hasil survei di 73 negara di seluruh penjuru dunia menyimpulkan , bahwa di seluruh dunia, kecuali Asia selatan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa mengalami peningkatan angka pengangguran yang sangat tinggi, yaitu 185,9 juta jiwa dalam kurun waktu 1990-2002. Komisi menemukan 59% masyarakat dunia hidup di negara-negara dengan tingkat kesenjangan yang meningkat, dan hanya 5% yang tinggal di negara-negara dengan tingkat kesenjangan menurun (Stiglitz, 2002).

Di Amerika Latin sebagai Negara yang dianggap paling sukses menerapkan sistem ekonomi global melalui Konsensus Washington, ternyata hanya mengalami kenaikan pendapatan per kapita tidak lebih dari 5,7% selama setengah abab, sejak tahun 1930. Sedangkan kenaikan suku bunganya malah terus menanjak hingga lebih dari 20%, yang kemudian memicu krisi pada awal 1980 di Meksiko, Argentina, Brasil, Kosta Rika dan banyak Negara lain, yang akhirnya membuat mereka gagal melunasi utangnya.
Demikian pula di AfrikaTimur, yang juga ikut merasakan euforia globalisasi pada awal kemerdekaannya di akhir 1960. Dimana untuk menyelesaikan proyek pembangunannya lantas menerima tawaran pinjaman IMF, yang berarti juga siap menjalankan kebijakan Konsensus Washington, termasuk liberalisasi yang berarti membuka pasar Afrika seluas-luasnya terhadap barang –barang asing (padahal Afrika sendiri hanya memiliki sedikit sekali barang yang dapat dijual keluar) & penerapan kebijakan uang ketat ala IMF (berupa penetapan kendala-kendala untuk mencegah negara peminjam menggunakan uang hasil peminjaman tersebut, sekalipun untuk hal yang baik, seperti subsidi publik dll), dan itu kemudian hanya membawa Afrika pada pertumbuhan 6% per tahun selama rentang 1993-1997, kebijakan ekonomi makronya bahkan tetap tidak dapat mengundang investasi asing, sedangkan tingkat produktivitas lahan pertanian mereka hanya sepertiga dari produktivitas negara –negara di Asia, hal ini diperparah dengan epidemik AIDS dan penurunan angka harapan hidup. Akibatnya, pada tahun-tahun pertama abab kedua puluh satu, jumlah penduduk miskin di Afrika meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya.

Tidak demikian dengan negara –negara di Asia Timur (Cina, Jepang dan Korea Selatan), mereka menerima kebijakan ekonomi global secara sangat hati-hati. Cina membuka pasar mereka untuk investasi asing, namun tidak untuk “uang panas” (yaitu, investasi yang masuk dalam jumlah sangat besar pada saat pasar untung, kemudian langsung menghilang ketika pasar merugi), mereka tidak menerapkan kebijakan uang ketat ala IMF secara penuh, sehingga bank-bank mereka memilih mengalirkan pinjaman untuk pengembangan industri-industri lokal dan baru dibandingkan untuk usaha real estate yang spekulatif. Hasilnya dengan jumlah penduduk lebih dari 50 juta, Cina menjadi negara dengan pertumbuhan tercepat di seluruh dunia, pendapatan penduduknya meningkat delapan kali lipat sejak 1978, kemiskinan (penduduk berpenghasilan 1 dollar per hari) menurun hingga ¾ kali, dan tingkat simpanan serta investasi masyarakatnya lebih dari 40% dari PDB, jauh diatas Amerika yang hanya 14% PDB. Sementara di Jepang dan Korea, saat hampir seluruh wilayah melakukan liberalisasi – membuka pasar dengan melakukan deregulasi – secara perlahan dalam jarak konsisten dengan kapasitas ekonomi. Ketika Negara-negara lain fokus dengan pertumbuhan ekspor, Pemerintah mereka malah membatasi impor yang dapat mengurangi kegiatan industri dan pertanian lokal. Ketika pihak swasta tidak menyediakan kredit jangka panjang & menyediakan bahan dasar produksi, pemerintah mereka langsung mengisi kekosongan itu. Sekarang Jepang menjadi raksasa industri high-tech dan Korea menjadi negara pembuat baja terbesar dan terefisien di dunia.

Ada apa dibalik itu semua?, setidaknya ada lima hal perlu menjadi perhatian, terhadap globalisasi yang selama ini berjalan :

• Aturan main globalisasi tidak adil, dirancang secara khusus untuk menguntungkan industri maju, kenyataannya beberapa perusahaan saat ini sangat tidak adil sehingga membuat Negara-negara miskin semakin terpuruk.
• Globalisasi mendahulukan nilai-niai kebendaan diatas nilai-nilai lain, seperti lingkungan dan kehidupan itu sendiri.
• Cara pengelolaan globalisasi telah mencabut sebagian besar kedaulatan Negara-negara berkembang. Termasuk kemampuan membuat keputusan –keputusan di bidang –bidang penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan melemahkan demokrasi
• Sementara para pendukung globalisasi mengklaim bahwa setiap orang akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi, terdapat banyak bukti yang menunjukan bahwa pihak yang dirugikan bukan hanya negara berkembang tetapi juga Negara-neraga maju.
• Dan yang terpenting , barangkali adalah sistem ekonomi yang dipaksakan (pada negara-negara berkembang), bahkan untuk beberapa kasus terlalu dipaksakan, kurang tepat dan sering kali merusak.

Bagaimana itu bisa terjadi? itu karena kebijakan ekonomi dalam globalisasi telah di neoliberalisasi- kan. Dimana neoliberalisasi berkerja untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah.
Tapi privatisasi ini tidak terjadi pada negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara Amerika Selatan dan negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi ini telah mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis kesejahteraan. Nasionalisasi yang menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan dengan dereguasi aturan-aturan ekonomi.
Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik (ini yang kemudian diadopsi, kedalam Konsensus Washington dan syarat-syarat pemberian pinjaman IMF).

Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi.
Satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, menawarkan penyederhanaan politik sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam pemikiran neoliberalisme, politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah.

Neoliberalisme bertolakbelakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan proteksionisme, tetapi terkadang menggunakan ini sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dalam hubungan internasional dan ekonomi

0 komentar: